alihkan bahasa sesukamu!!

Sabtu, 31 Juli 2010

SEOLAH...Gratis = Tetap Bayar


KALAU SUDAH BEGINI SIAPA YANG TANGGUNG JAWAB..???????
Oleh: Dicky Mawardi
SEORANG teman, sedikit tergopoh-gopoh, menghampiri saya. Dengan raut muka yang serius, dia langsung bertanya tentang arti kata "gratis". Entah pertanyaan itu serius atau hanya sekadar bertanya. Saya tak begitu menanggapinya.

Saya pikir, pasti dia sedang bercanda. Anak taman kanak-kanak saja pasti tahu apa arti kata gratis itu. "Dari dulu sampai sekarang, gratis itu artinya tidak bayar," jawab saya.Namun teman saya bilang lagi bahwa kata gratis di lingkungan dinas pendidikan tak sama dengan apa yang saya katakan tadi. Menurutnya, gratis dalam kamus dinas pendidikan artinya tetap harus bayar. "Lo, kok bisa?"

Sambil tersenyum dia mengatakan, pemerintah sering menggembar-gemborkan bahwa masuk sekolah dasar (SD) itu tidak perlu bayar, tapi kenyataannya, masih banyak sekolah yang memungut biaya pendidikan. Pengutan ini marak terjadi pada saat penerimaan siswa baru (PSB).

"Katanya gratis, tapi kok anak saya dimintai uang. Anehnya, mereka berdalih itu bukan pungutan, namun sumbangan sukarela. Masa sih sumbangan sukarela, kesannya maksa. Kalau sudah begitu, apakah masuk sekolah itu masih gratis?" tanyanya lagi.

Itulah fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sekarang ini. Dana sumbangan pendidikan (DSP) pada kenyataannya masih ada di beberapa sekolah, padahal pemerintah selalu mengingatkan bahwa masuk SD digratiskan.

Orangtua yang memiliki sikap kritis, begitu disodori sumbangan sukarela, pasti akan menolak. Bukan berarti tidak memiliki uang, umumnya mereka keberatan membayar karena pemerintah sudah menggratiskan biaya masuk SD. "Uang saya punya, tapi membayar DSP sama artinya dengan membiarkan kesalahan tumbuh subur. Bagaimana jika hal itu terjadi pada keluarga tidak mampu, betapa bakal terpukulnya mereka. Bisa-bisa anak dari keluarga tidak mampu tak bisa bersekolah," paparnya.

Masyarakat dalam hal ini orangtua murid harus lebih peka dan kritis terhadap berbagai bentuk pelanggaran sekecil apa pun. Jangan mentang-mentang punya banyak duit, ketika sekolah memberlakukan DSP, hal itu dibiarkan terjadi.

Membiarkan pungutan dengan dalih dan alasan apa pun sama dengan membiarkan pelanggaran terjadi. Maksud baik pemerintah tak berjalan mulus. Kenyataannya masih selalu saja terjadi pungutan.

Kembali pada pengawasan atau sikap kritis orangtua murid yang menjadi kunci dari penegakan aturan. Bukankah membudayanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) karena dulunya sikap masyarakat kita yang tidak sekritis sekarang. Sikap pemerintah pun tak seserius sekarang.

Bahkan tanpa disadari, mungkin kita ikut masuk dalam lingkaran tersebut. Sogok menyogok kecil-kecilan ternyata menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Setelah praktik KKN menimbulkan banyak kerugian, barulah pemerintah terlihat serius memberantas praktik korupsi.

Lalu bagaimana jika "gratis" berarti "tetap harus bayar" di dunia pendidikan kita dibiarkan? Ke depannya pasti akan lebih sulit menghentikannya. Jadi lebih baik dari sekarang mencegahnya, daripada dibiarkan "membudaya". (Wartawan Galamedia)**

Tidak ada komentar: