Jika kita mencermati proses pemberantasan korupsi di negeri ini,
terdapat pemandangan unik yang bisa mengusik emosi keagamaan. Seseorang
yang sebelumnya dikenal senang berpakaian modis dan seksi, tiba-tiba
mengenakan kerudung atau jilbab saat menjalani persidangan karena
dituduh berkorupsi. Jilbab acapkali dimaknai sebagian masyarakat sebagai
simbol keimanan dan keislaman seseorang, sementara korupsi punya makna
yang sebaliknya.
Fakta korupsi yang melibatkan tokoh agama ini tentu tidak bisa
digeneralisasi dengan mengambinghitamkan agama (Islam) sebagai penyebab
maraknya korupsi. Semaraknya korupsi maupun pemberantasannya memang
tidak selalu terkait dengan kondisi keagamaan, meski tetap saja terdapat
korelasi. Negara yang berhasil memberantas korupsi adalah negara yang
menegakkan hukum secara tegas, tuntas dan adil, terlepas apakah
masyarakatnya religius atau tidak.
Upaya memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan menyodorkan sebuah ”ayat-ayat” Tuhan. Orang yang mahir (fasih) membaca firman Tuhan tidak menjamin lantas kemudian mampu melawan arus korupsi. Terbukti banyak koruptor yang tidak sedikit di antara mereka justru menjadi ”tokoh” agama di komunitasnya. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan rohani yang harus seimbang dengan jasmani, kebutuhan agama harus dibarengi perbaikan ekonomi. Membangun agama mestinya diimbangi dengan membangun ekonomi dan budaya.
Lebih dari itu, mengharapkan ajaran dan nilai agama dapat melenyapkan korupsi merupakan harapan berlebihan. Apalagi, dalam realitasnya, pengamalan ajaran agama yang lebih merupakan moral appeal sering amat dipengaruhi berbagai macam faktor dan realitas yang hidup dalam masyarakat. Agama pada kenyataannya lebih berperan sebagai dorongan moral dan bukanlah sarana yang efektif untuk memberantas korupsi. Kebajikan ajaran agama sangat tergantung pada masing-masing individu untuk melaksanakannya atau tidak.
Berbekal pada spirit yang dikandung kitab suci, agama sesungguhnya punya kewenangan moral menyelesaikan korupsi. Agama punya kemampuan menciptakan pemahaman yang tidak cepat lekang di bawah sadar seseorang dalam membangun ruang koeksistensi normativitas dan historisitas agama. Hanya saja, pemahaman di otak memang tidak selamanya membuat seseorang mau mengimplementasikannya dalam perilaku keseharian. Inilah yang membuat simbol agama ikut terseret dalam semarak korupsi di negeri nan agamis ini. Allah a’lam bi al-shawab.
Upaya memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan menyodorkan sebuah ”ayat-ayat” Tuhan. Orang yang mahir (fasih) membaca firman Tuhan tidak menjamin lantas kemudian mampu melawan arus korupsi. Terbukti banyak koruptor yang tidak sedikit di antara mereka justru menjadi ”tokoh” agama di komunitasnya. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan rohani yang harus seimbang dengan jasmani, kebutuhan agama harus dibarengi perbaikan ekonomi. Membangun agama mestinya diimbangi dengan membangun ekonomi dan budaya.
Lebih dari itu, mengharapkan ajaran dan nilai agama dapat melenyapkan korupsi merupakan harapan berlebihan. Apalagi, dalam realitasnya, pengamalan ajaran agama yang lebih merupakan moral appeal sering amat dipengaruhi berbagai macam faktor dan realitas yang hidup dalam masyarakat. Agama pada kenyataannya lebih berperan sebagai dorongan moral dan bukanlah sarana yang efektif untuk memberantas korupsi. Kebajikan ajaran agama sangat tergantung pada masing-masing individu untuk melaksanakannya atau tidak.
Berbekal pada spirit yang dikandung kitab suci, agama sesungguhnya punya kewenangan moral menyelesaikan korupsi. Agama punya kemampuan menciptakan pemahaman yang tidak cepat lekang di bawah sadar seseorang dalam membangun ruang koeksistensi normativitas dan historisitas agama. Hanya saja, pemahaman di otak memang tidak selamanya membuat seseorang mau mengimplementasikannya dalam perilaku keseharian. Inilah yang membuat simbol agama ikut terseret dalam semarak korupsi di negeri nan agamis ini. Allah a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar