alihkan bahasa sesukamu!!

Selasa, 02 Oktober 2018

HAK POLITIK TERHADAP MANTAN " NAPI KORUPTOR ???"

Oleh: Resty Woro Yuniar (South China Morning Post)
Puluhan mantan napi korupsi akan kembali maju di pemilihan legislatif Indonesia tahun depan. Dan walaupun memiliki catatan hitam, mereka memiliki kesempatan untuk menang.
Sekitar 7.968 orang bersaing memperebutkan kursi DPR dan DPRD, 38 kandidat sebelumnya telah dihukum karena korupsi. Namun, mereka berhasil mendapatkan dukungan 13 partai—dari total 16 partai—yang ambil bagian dalam pemilihan umum 2019.
Mereka diizinkan untuk maju setelah Mahkamah Agung, pada tanggal 13 September, menolak ketetapan KPU yang tidak mengizinkan para mantan napi korupsi berkampanye, mengkontradiksi undang-undang pemilu 2017. Gerindra, yang didirikan oleh kandidat presiden Prabowo Subianto, mendukung enam dari 38 kandidat tadi, yang paling tinggi jumlahnya di antara partai-partai yang terlibat.
Pengkritik peraturan tadi mengatakan, mengizinkan mantan napi korupsi kembali ikut pemilu bisa mengoyak integritas DPR dan menghambat upaya anti-korupsi Indonesia.
“Anda tidak bisa memiliki tindakan tidak baik di masa lalu untuk menjadi anggota badan pemerintahan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau Badan Pajak, jadi kenapa persyaratan ini menghilang untuk anggota DPR atau DPRD?” ujar Adnan Topan Husodo, kordinator Indonesia Corruption Watch, dalam sebuah panel di Jakarta. “Ada kepentingan tersembunyi di balik keputusan untuk mengizinkan mantan napi korupsi (untuk nyaleg) yang mungkin telah mempengaruhi diabaikannya undang-undang tahun 2017, yang diajukan dan disetujui oleh DPR sendiri.”
Alasannya mudah—menjadi narapidana korupsi atau penggelapan uang mungkin telah menghambat keinginan para politisi untuk kembali ke panggung politik di Barat, apalagi maju ikut pemilu, namun stigma semacam itu tidak berlaku di Indonesia, tempat dimana sogokan dianggap sebagai perilaku normal. Survei yang dirilis oleh Indonesia Survey Institute minggu lalu memberikan gambaran suram.
Presiden Joko Widodo dan kandidat presiden Prabowo Subianto, yang mendukung mantan napi korupsi lebih banyak dibanding yang lain. (Foto: AFP)
Walau kebanyakan responden mengatakan mereka pro-demokrasi, hampir sepertiga mengatakan mereka tidak peduli, dan dalam beberapa kasus, cenderung mendukung, korupsi—antitesi dari sistem politik yang mereka dukung. Menurut survei itu, 27 persen dari responden—terutama yang tinggal di desa dan berpendidikan rendah—memaafkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, terutama untuk membantu mereka mempercepat layanan administrasi di badan-badan hukum pemerintah.
Kecenderungan yang permisif ini terhadap korupsi bisa membantu mantan napi korupsi kembali terpilih, ujar analis.
“Tidak semua pemilih memiliki informasi cukup tentang catatan para kandidat, termasuk apakah mereka kotor atau bersih. Toleransi pemberi suara terhadap korupsi itu tinggi,” ujar Burhanuddin Muhtadi, seorang peniliti senior di institusi itu. “Jadi, ya, mantan napi korupsi memiliki kesempatan menang.”
Dalam pemilihan daerah bulan Juni, hanya 19 hari setelah KPK menyebutnya sebagai terduga kasus korupsi dalam sejumlah proyek infrastruktur, seorang kandidat terpilih sebagai bupati di Jawa Timur—dengan kemenangan besar 59,8 persen dari jumlah suara.
Syahri Mulyo dicopot dari jabatannya tiga menit setelah dilantik minggu lalu, dan saat ini sedang ditahan menunggu sidang.
Pengampunan terhadap korupsi ini bisa bermula dari budaya patronase di banyak komunitas Asia, termasuk Indonesia. Tidak seperti di Barat, di mana meritokrasi (pemerintahan yang dipilih berdasarkan kemampuan mereka) bertahan, kebanyakan pemilih di Indonesia masih menempatkan tokoh masyarakat seperti pejabat dan pemuka agama sebagai junjungan. Hal ini mempermudah politisi untuk mendapatkan kembali kekuasaan mereka setelah terimplikasi kasus korupsi.
"Setiap negara memiliki nilai-nilainya sendiri, dan untuk Indonesia, itu adalah patronase,” ujar Yenny Wahid, putri dari mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid dan ketua dari The Wahid Foundation, pusat riset di Jakarta yang fokus terhadap toleransi beragama. “Di bawah sistem patronase, masyarakat akan menghormati pejabat atau pemuka agama mengabaikan kemampuan dan kecerdasan mereka.”
Rekomendasi lain adalah untuk KPU menambahkan label pada setiap nama mantan napi korupsi di kertas suara, walaupun KPU menolak ide ini karena desain kertas suara telah disetujui oleh semua partai.
Namun upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang catatan hitam para kandidat kemungkinan tidak akan mempengaruhi toleransi masyarakat yang tinggi terhadap korupsi, karena hal itu sudah mengakar secara dalam, ujar analis. Dari para responden survei yang mengatakan mereka pernah berurusan dengan polisi tahun lalu, contohnya, 33 persen mengatakan mereka memberikan uang atau hadiah kepada polisi.
“Warga negara yang jujur, di sisi lain, akan menjadi korban dari korupsi sistematis ini…urusan mereka tidak akan diproses secepat mereka yang memberikan sogokan,” ujar Husodo dari Indonesia Corruption Watch. “Hal ini bisa merugikan para pejuang anti korupsi.”
memberantas korupsi di Indonesia ditandai dengan serangan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan bulan April tahun lalu. Baswedan, yang memimpin investigasi kasus e-KTP, menderita luka serius pada matanya setelah dua pria tidak dikenal menyiramkan air keras ke wajahnya.
Kasus itu akhirnya maju sidang, dan mantan ketua DPR Setya Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, setelah pengadilan memutuskan ia bersalah menggelapkan uang sebesar $7,3 miliar dari proyek tersebut.
Polisi sampai hari ini belum berhasil mengidentifikasi penyerang Baswedan, menambah serangkaian kasus pelanggaran hak asasi. Tidak ada yang tahun apakah mantan napi korupsi akan lebih rentan melakukan pelanggaran seandainya mereka terpilih. Namun rendahnya restitusi kasus korupsi memberikan ilustrasi “keuntungan” korupsi.
Tahun lalu, Indonesia kehilangan 30 triliun rupiah dari korupsi, namun hanya 5 persen dari uangnya yang telah dikembalikan ke negara, menurut Indonesia Corruption Watch. Secara keseluruhan, ada 2.457 mantan narapidana korupsi masih diperkerjakan sebagai pegawai negeri, dan beberapa bahkan telah naik jabatan, menggarisbawahi kurangnya hukuman dalam institusi pemerintah.
Mantan narapidana korupsi diharapkan untuk menunjukan kepribadian mereka yang rendah hati untuk menarik pemilih, dan taktik ini bisa berhasil dengan masyarakat berpendidikan rendah di pedesaan, ujar analis.
Para pemilih ini biasanya juga tidak akan menolak politik uang, sistem quid-pro-quo ketika kandidat memberi uang pada pemilih sebagai ganti suara mereka—yang bisa memberikan dorongan tambahan bagi para kandidat mantan napi, yang memiliki uang kotor di saku mereka.
“Para mantan napi korupsi yang maju di pemilu basanya lebih dikenal publik dibanding mereka yang jujur, dan mereka juga cenderung lebih sosial.” ujar Muhtadi. “Hal ini bisa mendorong dukungan dari para pemilih yang lebih permisif terhadap korupsi, sehingga kemungkinan mereka untuk menang sama sekali tidak kecil.”
SHARE : by (mulyana/team Pers)

Tidak ada komentar: